baca saja..


Satu per satu anakku, setelah menikah, pergi meninggalkanku. Sementara aku, sejak suamiku meninggal tiga bulan lalu, tetap tinggal di rumah besar kami di Tebet bersama dua orang perempuan yang sudah 22 tahun bekerja padaku, seorang sopir sekaligus tukang kebun, serta seorang keponakan suamiku yang kedua orangtuanya meninggal dalam sebuah kecelakaan pesawat terbang.

Suamiku sudah menyiapkan rumah untuk anak-anak kami, yang disewakannya kepada orang-orang. Setelah mereka menikah barulah ia memberikan kunci rumah-rumah itu. Ia membelinya saat memiliki jabatan tinggi di sebuah departemen dan memperoleh 'uang lain-lain' dari orang-orang yang mengharapkan langkahnya tidak terhalang sebutir kerikil pun.

Ia melakukannya karena ingin anak-anaknya mengenang dia sebagai ayah yang bertanggung jawab. Suamiku meninggal akibat gagal jantung setelah 12 tahun pensiun. Sehari sebelumnya ia sempat berbicara kepadaku, telah merasa lengkap menjadi ayah karena melihat semua kejadian terhadap anak-anaknya: lahir, besar, bersekolah, menyelesaikan pendidikan hingga perguruan tinggi, bekerja, menikah, tinggal di rumah-rumah yang diberikannya, dan memiliki anak.

Ia dimakamkan di sebuah pemakaman luas sesuai yang pernah ia pesankan. Hingga kini aku merasa ia masih ada di dalam rumah kami. Menjelang jam tujuh pagi, lima sore, sembilan malam, aku masih selalu pergi ke dapur, membuatkan secangkir teh manis untuknya. Anakku yang nomor satu rupanya mendapat cerita ini dari keponakan suamiku yang tinggal bersamaku. Maka tadi sore ia datang dan meminta aku tinggal di rumah besarnya di Ciputat.

Berkali-kali aku menolak, tentu karena aku merasa kasihan pada mendiang suamiku, tapi ia tetap berkeras seperti ayahnya. Ia mengatakan akan lebih mudah baginya untuk memantau dan mengurusku jika aku tinggal bersamanya.

"Di kamar besar yang lain Mama bisa meletakkan semua buku milik Mama. Kalau tetap di sini Mama akan terus bersedih. Biarlah rumah ini Suci yang menjaga dan mengurusnya bersama Mbak Tar, Mbak Mi, dan Bang Ali. " Akhirnya aku menyetujui saja.

Malam hari aku sering menangis mengingat suamiku. Sementara anak-anakku, selama dua bulan aku di sini, tidak pernah ada yang datang. Dan anakku yang nomor satu jarang sekali bertemu denganku. Ia pergi pagi ketika aku masih mengaji di kamar, dan pulang begitu malam ketika aku sudah tertidur.

Dalam seminggu mungkin aku hanya bertemu dengannya dua atau tiga kali. Bahkan bisa tidak sama sekali. Aku sering mengingat masa ketika mereka kecil. Waktu itu setiap hari aku bisa bertemu mereka. Lalu ketika mereka masuk perguruan tinggi dan bekerja, aku pun mulai jarang bertemu.

Lalu ketika mereka menikah dan tinggal di rumah-rumah yang diberikan suamiku, memiliki anak dan sibuk dengan istri atau suaminya, aku sudah tidakbanyak berharap mereka akan mudah kutemui.

Sekarang apa yang aku dapat? Sebuah senyuman dan sapaan setiap pagi hari pun tidak. Terlebih kata terima kasih atas jerih-payahku melahirkan, mendidik, membesarkan, dan menyenangkan mereka. Aku tidak bermaksud meminta balasan. Tetapi bagaimanapun menurutku mereka seharusnya tahu diri dan tahu berterimakasih. Padahal sejak mereka kecil aku dan suamiku selalu mengajarkan untuk tidak melupakan kebaikan seseorang.

Anakku yang nomor satu, hari ini memutuskan mengirimku ke sebuah pantijompo, setelah istri dan ketiga anaknya sering mengeluhkan aku yang selalu menangis tengah malam ketika aku teringat suamiku, karena katanya mengganggu tidur mereka. Dua minggu lalu ia mengundang adik-adiknya datang. Ketika semua berkumpul, kecuali anakku yang nomor empat yang tinggal di Australia, ia memberitahukan keinginannya.

"Lagipula Mama tidak mungkin kita biarkan kembali ke Tebet. Terlalu banyak kenangan tentang Papa di sana yang bisa membuat Mama sedih." Duabulan lagi umurku 68 tahun. Setelah satu tahun aku di tinggal sini, hanya Lebaran lalu saja anak-anakku datang. Sementara si Tar, si Mi, si Ali, serta keponakan suamiku yang pernah delapan tahun tinggal bersamaku, hampir setiap akhir pekan menjengukku.

Hari itu semua anakku datang bersama suami, istri, dan anak-anak mereka. Hanya yang nomor empat tidak datang, karena katanya uang jutaan rupiah untuk membeli tiket pesawat bagi tiga orang ke Jakarta lebih baik disimpannya di bank. Ia hanya mengirim kartu Lebaran disertai tulisan dan tanda tangannya.

Sedangkan cucu pertamaku memilih pergi ke rumah kekasihnya. Katanya karena ia segan. Ingat, segan. Segan bertemu neneknya. Padahal dahulu aku yang sering membersihkan kotorannya dan mengganti popok bila ia datang ke rumahku bersama orangtuanya. Lalu hingga kini tidak pernah lagi mereka datang.

Hanya anakku yang nomor satu yang selalu mengirim ini dan itu kepadaku, biasanya berupa buku-buku terbaru psikologi, filsafat, sejarah, sastra,agama, sosial, seni, budaya, tentu saja, melalui sopirnya.

Setiap pukul 04.30 aku bangun, mandi dengan air hangat yang keluar dari pancuran di bath-tub, sholat subuh, dan mengaji. Di sini kami seperti di rumah sendiri. Bangun jam berapa saja kami berkeinginan. Sarapan dan makan pun bebas memilih. Anak-anak telah membayar sangat tinggi untuk menitipkanku di sini.

Aku jadi teringat masa ketika indekos ketika aku belajar psikologi. Hanya kini aku tidak tinggal bersama gadis-gadis cantik dan tidak untuk menuntut ilmu apa-apa. Hanya menunggu ajal.

Tepat pukul 06.00 kami yang sudah bangun dianjurkan berkumpul dihalaman depan untuk berolahraga. Cukup tiga puluh menit sekadar untuk meregangkan otot-otot tua kami. Setelah itu kami diminta untuk membersihkan diri, mandi pagi lagi kalau mau.

Pukul 08.00 biasanya kami akan berkumpul di ruang makan untuk sarapan. Mereka yang bangun terlambat dan tidak ingin berolahraga dan tidak ingin sarapan di ruang makan, bisa meminta petugas mengantarkan sarapannya ke kamar.

Setelah itu hingga pukul 16.00 kami dipersilakan melakukan kegiatan apa saja sesuai keinginan: merajut, melukis, menulis surat untuk anak-anak kami, bermain catur, berkebun, membaca, menonton TV, mendengar radio, berbincang-bincang dengan teman-teman lain, atau tidur siang.

Dan setiap pukul 16.30 kami biasanya akan duduk-duduk di teras panti sambil menikmati secangkir teh manis dan kue-kue kecil. Setelah itu kami diminta untuk mandi sore.

Pukul 19.00 kami kembali berkumpul di ruang makan. Malam ini aku menikmati segelas air teh manis hangat, nasi putih, perkedel kentang, dan semur ikan bandeng dengan kuah kental kesukaanku.

Hari ini tepat tiga tahun aku masuk panti. Aku, karena sejak muda mempunyai kegemaran membaca, setiap hari selalu hanya membaca. Apa saja aku baca. Majalah berita, koran pagi, tabloid perempuan, dan majalah perempuan yang dilanggani panti, tidak pernah kulewatkan, juga buku-buku di perpustakaan.

Selama lima tahun di sini, akusudah membaca semua buku yang ada di sana, dan tentu saja puluhan lainnya kiriman anakku yang nomor satu. Hari ini aku membaca sebuah buku filsafat. Sudah dua hari aku membacanya, dan tampaknya hari ini pun belum akan selesai. Padahal ketika muda dahulu satu buku tebal kubaca hanya dalam waktu satu hari, dan buku sedang cukup setengah hari saja. Setelah tua aku menjadi mudah letih dan mengantuk.

Kemarin aku sulit sekali meneruskan buku itu. Aku tiba-tiba saja kembali memikirkan suamiku dan juga umurku yang sudah semakin tua. Aku tahu aku tidak akan lama lagi di sini. Teman-teman sebayaku semasa diperguruan tinggi, sudah banyak yang tiada. Dulu aku memiliki ratusan buku yang kubeli sejak umurku belasan tahun. Sebelum tinggal di sini, aku ingat jumlahnya sekitar 524 buah. Tersimpan rapi di perpustakaan pribadi di rumahku.

Aku percaya anakku yang nomor tujuh akan menjaga buku-buku itu. Kebetulan ia mempunyai kegemaran yang sama denganku, meski sebenarnya keenam anakku yang lain, serta suamiku, juga memiliki kegemaran yang sama. Hanya saja karena ia yang paling banyak menghabiskan waktu bersamaku maka aku percaya ia akan menjaganya.

Ketika masih tinggal bersamaku hampir setiap awal bulan ia menemaniku pergi ke toko buku, membeli buku-buku kegemaranku. Kebetulan aku paling menyukai buku psikologi, karena ilmu itulah yang mampu membuatku tertarik masuk kesebuah fakultas hingga menyelesaikannya.

Tetapi sudah sepuluh tahun ini aku tidak melakukannya. Meski berkeinginan, namun semuanya kini hanya ada di dalam angan-angan dan kenangan-kenanganku. Untunglah anakku yang nomor satu selalu mengirimkan buku-buku kegemaranku terbaru. Jadi aku tidak terlalu mengharapkan buku-buku di perpustakaan panti yang hanya beberapa puluh saja.

Ketika minggu kedua tinggal di sini pernah kutanyakan kepada petugas, mereka hanya menjawab, "Uang panti tidak cukup, Nyonya."
"Bukankah anak-anak kami sudah membayar sangat tinggi untuk menitipkan kami di sini? Jadi bagaimana mungkin tidak cukup?"
"Saya hanya petugas, Nyonya. Urusan uang ketua yayasan yang mengatur. Lagipula Bapak pernah mengatakan orang-orang tua di sini tidak terlalu suka membaca."
"Begitu? Bagaimana dia tahu?"
"Bapak memang jarang datang ke sini, Nyonya. Maklumlah usaha Bapaktidak hanya panti ini."
"Saya punya banyak buku di rumah. Boleh saya menyumbangkannya? "
"Dengan senang hati, Nyonya. Dengan senang hati."

Tetapi ternyata anakku yang nomor tujuh tidak memperbolehkannya. Di telepon ia mengatakan buku-buku itu terlalu berharga karena ada yang sudah berumur puluhan tahun dan sudah tidak beredar di pasaran.

Ketika kukatakan buku-buku itu akan lebih berharga jika dibaca orang lain, iatetap tidak memperbolehkannya. Katanya karena ia membaca pula buku-buku itu. "Lagipula anggaplah sebagai warisan yang Mama berikan untukku." Anak-anakku, mereka tidak pernah puas hanya menerima.

Dua hari lalu umurku 79 tahun. Aku tahu tidak akan lama lagi di sini. Hingga malam, ketujuh anakku tidak ada satu pun datang atau sekedar menelepon. Hanya datang si Tar, si Mi, si Ali, serta keponakan suamiku yang pernah delapan tahun tinggal bersamaku.

Baru hari ini anakku yang nomor satu mengirim kado berisi selimut tebal dan kartu ucapan buatan pabrik. Kado itu diantar seorang sopirnya. Ingat, sopir. Dia tidak bisa datang, kata sopirnya, karena sibuk bekerja. Ingat, sibuk. Sekali lagi ingat, sibuk.

Padahal dahulu ketika masih tinggal bersamaku, aku selalu menyiapkan masakan istimewa buatanku di hari ulang tahun mereka dan merayakannya bersama-sama.

Bila tahu akan seperti ini, demi Tuhan, aku tidak bersedia melahirkan mereka. Dan aku tahu, suamiku, pasti menyesal telah menghidupi mereka..........

Pesan buat Puteriku

Putriku tercinta! Aku seorang yang telah berusia hampir lima puluh tahun. Hilang sudah masa remaja, impian dan khayalan. Aku telah mengunjungi banyak negeri, dan berjumpa dengan banyak orang.

Aku juga telah merasakan pahit getirnya dunia. Oleh karena itu dengarlan nasehat-nasehatku yang benar lagi jelas, berdasarkan pengalaman-pengalamanku, dimana engkau belum pernah mendengarnya dari orang lain.

Kami telah menulis dan mengajak kepada perbaikan moral, menghapus kejahatan dan mengekang hawa nafsu, sampai pena tumpul, dan mulut letih, dan kami tidak mengahasilkan apa-apa. Kemungkaran tidak dapat kami berantas, bahkan semakin bertambah, kerusakan telah mewabah, para wanita keluar dengan pakaian merangsang, terbuka bagian lengan, betis dan lehernya.

Kami belum menemukan cara untuk memperbaiki, kami belum tahujalannya. Sesungguhnya jalan kebaikan itu ada di depanmu, putriku! Kuncinya berada di tanganmu.

Benar bahwa lelakilah yang memulai langkah pertama dalam lorong dosa, tetapi bila engkau tidak setuju, laki-laki itu tidak akan berani, dan andaikata bukan lantaran lemah gemulaimu, laki-laki tidak akan bertambah parah. Engkaulah yang membuka pintu, kau katakan kepada si pencuri itu : silakan masuk . ketika ia telah mencuri, engkau berteriak : maling ! Tolong . tolong. saya kemalingan.

Demi Allah . dalam khayalan seorang pemuda tak melihat gadis kecuali gadis itu telah ia telanjangi pakaiannya.

Demi Allah . begitulah, jangan engkau percaya apa yang dikatakan laki- laki, bahwa ia tidak akan melihat gadis kecuali akhlak dan budi bahasanya. Ia akan berbicara kepadamu sebagai seorang sahabat.

Demi Allah. ia telah bohong! Senyuman yang diberikan pemuda kepadamu, kehalusan budi bahasa dan perhatian, semua itu tidak lain hanyalah merupakan perangkap rayuan ! setelah itu apa yang terjadi? Apa, wahai puteriku? Coba kau pikirkan!

Kalian berdua sesaat berada dalam kenikmatan, kemudian engkau ditinggalkan, dan engkau selamanya tetap akan merasakan penderitaan akibat kenikmatan itu. Pemuda tersebut akan mencari mangsa lain untuk diterkam kehormatannya, dan engakulah yang menanggung beban kehamilan dalam perutmu. Jiwamu menangis, keningmu tercoreng, selama hidupmu engkau akan tetap berkubang dalam kehinaan dan keaiban, masyarakat tidak akan mengampunimu selamanya.

Bila engkau bertemu dengan pemuda, kau palingkan muka, dan menghindarinya. Apabila pengganggumu berbuat lancang lewat perkataan atau tangan yang usil, kau lepaskan sepatu dari kakimu lalu kau lemparkan ke kepalanya, bila semua ini engkau lakukan, maka semua orang di jalan akan membelamu. Setelah itu anak-anak nakal itu takkan mengganggu gadis-gadis lagi. Apabila anak laki-laki itu menginginkan kebaikan maka ia akan mendatangi orang tuamu untuk melamar.

Cita-cita wanita tertinggi adalah perkawinan. Wanita, bagaimana punjuga status sosial, kekayaan, popularitas, dan prestasinya, sesuatu yang sangat didamba-dambakannya adalah menjadi isteri yang baik sertaibu rumah tangga yang terhormat.

Tak ada seorangpun yang mau menikahi pelacur, sekalipun ia lelaki hidung belang, apabila akan menikah tidak akan memilih wanita jalang (nakal), akan tetapi ia akan memilih wanita yang baik karena ia tidak rela bila ibu rumah tangga dan ibu putera-puterinya adalah seorang wanita amoral.

Sesungguhnya krisis perkawinan terjadi disebabkan kalian kaum wanita! Krisis perkawinan terjadi disebabkan perbuatan wanita-wanita asusila, sehingga para pemuda tidak membutuhkan isteri, akibatnya banyak para gadis berusia cukup untuk nikah tidak mendapatkan suami.

Mengapa wanita-wanita yang baik belum juga sadar? Mengapa kalian tidak berusaha memberantas malapetaka ini? Kalianlah yang lebih patut dan lebih mampu daripada kaum laki-laki untuk melakukan usaha itu karena kalian telah mengerti bahasa wanita dan cara menyadarkan mereka, dan oleh karena yang menjadi korban kerusakan ini adalah kalian, para wanita mulia dan beragama. Maka hendaklah kalian mengajak mereka agar bertakwa kepada Allah,bila mereka tidak mau bertaqwa, peringatkanlah mereka akan akibat yang buruk dari perzinaan seperti terjangkitnya suatu penyakit. Bila mereka masih membangkang maka beritahukan akan kenyataan yang ada, katakan kepada mereka : kalian adalah gadis-gadis remaja putri yang cantik, oleh karena itu banyak pemuda mendatangi kalian dan berebut di sekitar kalian, akan tetapi apakah keremajaan dan kecantikan itu akan kekal? Semua makhluk di dunia ini tidak ada yang kekal. Bagaimana kelanjutannya, bila kalian sudah menjadi nenek dengan punggung bungkuk dan wajah keriput? Saat itu, siapakah yang akan memperhatikan? Siapa yang akan simpati?

Tahukah kalian, siapakah yang memperhatikan, menghormati dan mencintai seorang nenek? Mereka adalah anak dan para cucunya, saat itulah nenek tersebut menjadi seorang ratu ditengah rakyatnya. Duduk di atas singgasana dengan memakai mahkota, tetapi bagaimana dengan nenek yang lain, yang masih belum bersuami itu? Apakah kelezatan itu sebanding dengan penderitaan di atas? Apakah akibat itu akan kita tukar dengan kelezatan sementara?

Dan berilah nasehat-nasehat yang serupa, saya yakin kalian tidak perlu petunjuk orang lain serta tidak kehabisan cara untuk menasehati saudari-saudari yang sesat dan patut di dikasihani. Bila kalian tidak dapat mengatasi mereka, berusahalah untuk menjaga wanita-wanita baik, gadis-gadis yang sedang tumbuh, agar mereka tidak menempuh jalan yang salah.

Saya tidak minta kalian untuk mengubah secara drastis mengembalikanwanita kini menjadi kepribadian muslimah yang benar, akan tetapi kembalilah ke jalan yang benar setapak demi setapak sebagaimana kalian menerima kerusakan sedikit demi sedikit.

Perbaikan tersebut tidak dapat diatasi hanya dalam waktu sehari atau dalam waktu singkat, malainkan dengan kembali ke jalan yang benar dari jalan yang semula kita lewati menuju kejelekan walaupun jalan itu sekarang telah jauh, tidak menjadi soal, orang yang tidak mau menempuh jalan panjang yang hanya satu-satunya ini, tidak akan pernah sampai. Kita mulai dengan memberantas pergaulan bebas, (kalaupun) seorang wanita membuka wajahnya tidak berarti ia boleh bergaul dengan laki-laki yang bukan mahramnya. Istri tanpa tutup wajah bukan berarti ia boleh menyambut kawan suami dirumahnya, atau menyalaminya bila bertemu di kereta, bertemu di jalan, atau seorang gadis menjabat tangan kawan pria di sekolah, berbincang-bincang, berjalan seiring,belajar bersama untuk ujian, dia lupa bahwa Allah menjadikannya sebagai wanita dan kawannya sebagai pria, satu dengan lain dapat saling terangsang. Baik wanita, pria, atau seluruh penduduk dunia tidak akan mampu mengubah ciptaan Allah, menyamakan dua jenis atau menghapus rangsangan seks dari dalam jiwa mereka.

Mereka yang menggembor-gemborkan emansipasi dan pergaulan bebas atas kemajuan adalah pembohong dilihat dari dua sebab :

Pertama : karena itu semua mereka lakukan untuk kepuasan pada diri mereka, memberikan kenikmatan-kenikmatan melihat angota badan yang terbuka dan kenikmatan-kenikmatan lain yang mereka bayangkan. Akan tetapi mereka tidak berani berterus terang, oleh karena itu mereka bertopeng dengan kalimat yang mengagumkan yang sama sekali tidak ada artinya, kemajuan, modernisasi, kehidupan kampus, dan ungkapan- ungkapan yang lain yang kosong tanpa makna bagaikan gendang.

Kedua : mereka bohong oleh karena mereka bermakmum pada Eropa, menjadikan eropa bagaikan kiblat, dan mereka tidak dapat memahami kebenaran kecuali apa-apa yang datang dari sana, dari Paris, London, Berlin dan New york. Sekalipun berupa dansa, porno, pergaulan bebas di sekolah, buka aurat di lapangan dan telanjang di pantai (atau dikolam renang). Kebatilan menurut mereka adalah segala sesuatu yangdatangnya dari timur, sekolah-sekolah Islam dan masjid-masjid, walapun berupa kehormatan, kemuliaan, kesucian dan petunjuk. Katamereka, pergaulan bebas itu dapat mengurangi nafsu birahi, mendidik watak dan dapat menekan libido seksual, untuk menjawab ini saya limpahkan pada mereka yang telah mencoba pergaulan bebas di sekolah- sekolah, seperti Rusia yang tidak beragama, tidak pernah mendengar para ulama dan pendeta. Bukankah mereka telah meninggalkan percobaan ini setelah melihat bahwa hal ini amat merusak?

Saya tidak berbicara dengan para pemuda, saya tidak ingin mereka mendengar, saya tahu, mungkin mereka menyanggah dan mencemoohkan saya karena saya telah menghalangi mereka untuk memperoleh kenikmatan dan kelezatan, akan tetapi saya berbicara kepada kalian, putri-putriku,wahai putriku yang beriman dan beragama! Putriku yang terhormat dan terpelihara ketahuilah bahwa yang menjadi korban semua ini bukan orang lain kecuali engkau.

Oleh karena itu jangan berikan diri kalian sebagai korban iblis, jangan dengarkan ucapan mereka yang merayumu dengan pergaulan yang alasannya, hak asasi, modernisme, emansipasi dan kehidupan kampus. Sungguh kebanyakan orang yang terkutuk ini tidak beristri dan tidak memiliki anak, mereka sama sekali tidak peduli dengan kalian selain untuk pemuas kelezatan sementara. Sedangkan saya adalah seorang ayah dari empat gadis. Bila saya membela kalian, berarti saya membela putri-putriku sendiri. Saya ingin kalian bahagia seperti yang saya inginkan untuk putri-putriku.

Sesungguhnya tidak ada yang mereka inginkan selain memperkosa kehormatan wanita, kemuliaan yang tercela tidak akan bisa kembali,begitu juga martabat yang hilang tidak akan dapat diketemukan kembali.

Bila anak putri jatuh, tak seorangpun di antara mereka mau menyingsingkan lengan untuk membangunkannya dari lembah kehinaan, yang engkau dapati mereka hanya memperebutkan kecantikan si gadis,apabila telah berubah dan hilang, mereka pun lalu pergi menelantarkan, persisnya seperti anjing meninggalkan bangkai yang tidak tersisa daging sedikitpun.

Inilah nasehatku padamu, putriku. Inilah kebenaran. Selain ini jangan percaya. Sadarlah bahwa di tanganmulah, bukan di tangan kami kaum laki-laki, kunci pintu perbaikan. Bila mau perbaikilah diri kalian, dengan demikian umat pun kan menjadi baik.

(wallahul musta'an)

Disarikan dari buku : "Wahai Putriku" Ali Thanthawi

Titipan Allah

Oleh : Muhammad Bajuri

Dari pernikahan dua sahabat Rasulullah SAW, Abu Thalhah dan Ummu Sulaim, lahir seorang anak bernama Abu Umair. Ketika Abu Thalhah pergi, Abu Umair anak satu-satunya dari pasangan tersebut meninggal dunia. Ummu Sulaim mengurus mayat anaknya yang telah tiada dengan penuh ketabahan. Setelah dimandikan, Ummu Sulaim menidurkan anaknya di sebuah sudut rumahnya. Kemudian, ia berdandan dan memakai pakaiannya yang terbaik, serta memasak makanan yang lezat untuk menyongsong kepulangan suaminya, Abu Thalhah.

Ketika Abu Thalhah datang dan menanyakan anaknya, Ummu Sulaim berkata, ''Anak kita, sekarang sedang istirahat. '' Sambutan Ummu Sulaim yang begitu menyenangkan, membuat Abu Thalhah tidak lagi merasa lelah, dan tidak ada lagi pikiran yang mengganggunya. Dia pun dapat menikmati makanan lezat yang dihidangkan oleh sang istri tercinta.

Ummu Sulaim berkata, ''Wahai Abu Thalhah, bagaimana pendapatmu jika ada orang yang menitipkan sesuatu kepada seorang temannya. Namun, ketika orang itu meminta kembali barangnya, temannya malah marah?'' Abu Thalhah berkata, ''Tidak boleh bertindak demikian, sebab bagaimanapun barangtitipan harus dikembalikan kepada pemiliknya.' '

Kemudian, Ummu Sulaim menyambung perkataannya, ''Anak yang kita cintai ini hanyalah titipan belaka. Sekarang, Allah telah mengambil kembali titipan-Nya itu.'' Setelah mendengar perkataan istrinya yang begitu bermakna, maka Abu Thalhah pun sadar dan ridla akan qadha (ketentuan) Allah. Dengan penuh ikhlas, Abu Thalhah berucap ''Inna lillaahi wa innailaihi raaji'uun (kami semua milik Allah, dan kami semua akan kembali kepada-Nya). ''

Abu Thalhah pergi menemui Rasulullah SAW. Setelah bertemu, ia bercerita tentang musibah yang menimpa keluarganya. Lalu, Rasulullah SAW mendoakan Abu Thalhah dan Ummu Sulaim agar Allah memberkahi mereka berdua. Doa Rasulullah SAW dikabulkan Allah SWT. Abu Thalhah mendapatkan putra lagi yang diberi nama Abdullah. Dari Abdullah inilah, Abu Thalhah mendapatkan sembilan orang cucu yang semuanya hafal dan ahli Alquran. Abu Thalhah dan Ummu Sulaim adalah sepasang suami-istri yang layak dijadikan teladan dalam kehidupan sehari-hari, dalam berumah tangga, juga dalam kehidupan bermasyarakat.

Kesadaran bahwa segala apa yang dimiliki manusia hanyalah titipan dariAllah, membuat manusia selalu tabah dan sabar, ketika mendapatkan ujian serta cobaan. Ujian itu bisa berupa meninggalnya salah seorang anggota keluarga yang dicintai, hilangnya harta dan jabatan yang menjadi kebanggaannya, dan sebagainya.

Allah SWT berfirman, ''Sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada mereka yang sabar, (yaitu) mereka yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan, Inna lillaahi wa innailaihi raaji'uun.'' (QS Albaqarah, ayat 155-156).

Wallahu a'lambish-shawab.

Seperti yang telah biasa dilakukannya ketika salah satu sahabatnya meninggal dunia Rasulullah SAW mengantar jenazahnya sampai ke kuburan. Dan pada saat pulangnya disempatkannya singgah untuk menghibur dan menenangkan keluarga almarhum supaya tetap bersabar dan tawakal menerima musibah itu.

Kemudian Rasulullah SAW berkata,"tidakkah almarhum mengucapkan wasiat sebelum wafatnya?"

Istrinya menjawab, "saya mendengar dia mengatakan sesuatu diantara dengkur nafasnya yang tersengal-sengal menjelang ajal"

"Apa yang di katakannya?"

Istri yang setia itu menjawab, "suami saya mengatakan"Andaikata lebih panjang lagi....andaikata yang masih baru.... andaikata semuanya.... " hanya itulah yang tertangkap sehingga kami bingung dibuatnya. Apakah perkataan-perkataan itu igauan dalam keadaan tidak sadar, ataukah pesan-pesan yang tidak selesai?"

Rasulullah SAW tersenyum."sungguh yang diucapkan suamimu itu tidak keliru,"ujarnya. Kisahnya begini. Pada suatu hari ia sedang bergegasakan ke masjid untuk melaksanakan shalat Jum'at. Ditengah jalan ia berjumpa dengan orang buta yang bertujuan sama. Si buta itu tersaruk-saruk karena tidak ada yang menuntun. Maka suamimu yang bimbingnya hingga tiba di masjid. Tatkala hendak menghembuskan nafas penghabisan, ia menyaksikan pahala amal sholehnya itu, lalu iapun berkata "andaikan lebihpanjang lagi". Maksudnya, andaikata jalan ke masjid itu lebih panjang lagi, pasti pahalanya lebih besarpula.

Ucapan lainnya ya Rasulullah SAW?" tanya sang istri mulai tertarik.

Nabi menjawab, "adapun ucapannya yang kedua dikatakannya tatkala, ia melihat hasil perbuatannya yang lain. Sebab pada hari berikutnya, waktu ia pergi ke masjid pagi-pagi, sedangkan cuaca dingin sekali, ditepi jalan ia melihat seorang lelaki tua yang tengah duduk menggigil, hampir mati kedinginan. Kebetulan suamimu membawa sebuah mantel baru, selain yang dipakainya. Maka ia mencopot mantelnya yang lama, diberikannya kepada lelaki tersebut. Dan mantelnya yang baru lalu dikenakannya. Menjelang saat-saat terakhirnya, suamimu melihat balasan amal kebajikannya itu sehingga ia pun menyesal dan berkata, "Coba andaikan yang masih yang kuberikan kepadanya dan bukan mantelku yang lama, pasti pahalaku jauh lebih besar lagi". Itulah yang dikatakan suamimu selengkapnya.

Kemudian, ucapannya yang ketiga, apa maksudnya, ya Rasulullah SAW?" tanya sang istri makin ingin tahu.

Dengan sabar Nabi menjelaskan, "ingatkah kamu pada suatu ketika suamimu datang dalam keadaan sangat lapar dan meminta disediakan makanan? Engkau menghidangkan sepotong roti yang telah dicampur dengan daging. Namun, tatkala hendak dimakannya, tiba- tiba seorang musafir mengetuk pintu dan meminta makanan. Suamimu lantas membagi rotinya menjadi dua potong, yang sebelah diberikan kepada musafir itu. Dengan demikian, pada waktu suamimu akan menghembuskan nafasnya, ia menyaksikan betapa besarnya pahala dari amalannya itu. Karenanya, ia pun menyesal dan berkata 'kalau aku tahubegini hasilnya, musafir itu tidak hanya kuberi separoh. Sebab andaikata semuanya kuberikan kepadanya,sudah pasti ganjaranku akan berlipat ganda. Memang begitulah keadilan Tuhan. Pada hakekatnya, apabila kita berbuat baik, sebetulnya kita juga yang beruntung, bukan orang lain.

Lantaran segala tindak-tanduk kita tidak lepas dari penilaian Allah. Sama halnya jika kita berbuat buruk. Akibatnya juga akan menimpa kita sendiri. Karena itu Allah mengingatkan: "kalau kamu berbuat baik,sebetulnya kamu berbuat baik untuk dirimu. Dan jika kamu berbuat buruk, berarti kamu telah berbuat buruk atas dirimu pula." (surat Al Isra': 7)

Surat Ayah untuk Anaknya

Sepucuk surat dari seorang ayah

Aku tuliskan surat ini atas nama rindu yang besarnya hanya Allah yang tahu.

Sebelum kulanjutkan, bacalah surat ini sebagai surat seorang ayah kepada anaknya yang sesungguhnya bukan miliknya, melainkan milik Tuhannya.

Nak, menjadi ayah itu indah dan mulia.

Besar kecemasanku menanti kelahiranmu dulu belum hilang hingga saat ini. Kecemasan yang indah karena ia didasari sebuah cinta. Sebuah cinta yang telah terasakan bahkan ketika yang dicintai belum sekalipun kutemui.

Nak, menjadi ayah itu mulia.

Bacalah sejarah Nabi-Nabi dan Rasul dan temukanlah betapa nasehat yang terbaik itu dicatat dari dialog seorang ayah dengan anak-anaknya.

Meskipun demikian, ketahuilah Nak, menjadi ayah itu berat dan sulit.

Tapi kuakui, betapa sepanjang masa kehadiranmu disisiku, aku seperti menemui keberadaanku, makna keberadaanmu, dan makna tugas kebapakanku terhadapmu.

Sepanjang masa keberadaanmu adalah salah satu masa terindah dan paling aku banggakan di depan siapapun.

Bahkan dihadapan Tuhan, ketika aku duduk berduaan berhadapan dengan Nya, hingga saat usia senja ini.

Nak, saat pertama engkau hadir, kucium dan kupeluk engkau sebagai buah cintaku dan ibumu. Sebagai bukti,bahwa aku dan ibumu tak lagi terpisahkan oleh apapun jua.

Tapi seiring waktu, ketika engkau suatu kali telah mampu berkata: "TIDAK", timbul kesadaranku siapa engkau sesungguhnya.Engkau bukan milikku, atau milik ibumu Nak. Engkau lahir bukan karena cintaku dan cinta ibumu.

Engkau adalah milik Tuhan.

Tak ada hakku menuntut pengabdian darimu. Karena pengabdianmu semata-mata seharusnya hanya untuk Tuhan.

Nak, sedih, pedih dan terhempaskan rasanya menyadari siapa sebenarnya aku dan siapa engkau.

Dan dalam waktu panjang di malam-malam sepi, kusesali kesalahanku itu sepenuh -penuh air mata dihadapan Tuhan. Syukurlah, penyesalan itu mencerahkanku.

Sejak saat itu Nak, satu-satunya usahaku adalah mendekatkanmu kepada pemilikmu yang sebenarnya. Membuatmu senantiasa berusaha memenuhi keinginan pemilikmu.

Melakukan segala sesuatu karena Nya,bukan karena kau dan ibumu. Tugasku bukan membuatmu dikagumi orang lain, tapi agar engkau dikagumi dan dicintai Tuhan.

Inilah usaha terberatku Nak, karena artinya aku harus lebih dulu memberi contoh kepadamu dekatdengan Tuhan.

Keinginanku harus lebih dulu sesuai dengan keinginanTuhan. Agar perjalananmu mendekati Nya tak lagi terlalu sulit.

Kemudian, kitapun memulai perjalanan itu berdua, tak pernah engkau kuhindarkan dari kerikil tajam dan lumpur hitam. Aku cuma menggenggam jemarimu dan merapatkan jiwa kita satu sama lain.

Agar dapat kau rasakan perjalanan rohaniah yang sebenarnya.Saat engkau mengeluh letih berjalan, kukuatkan engkau karena kita memang tak bolehberhenti. Perjalanan mengenal Tuhan tak kenal letih dan berhenti, Nak.

Berhenti berarti mati, inilah kata-kataku tiap kali memeluk dan menghapus air matamu, ketika engkau hampir putus asa.

Akhirnya Nak, kalau nanti, ketika semua manusia dikumpulkan di hadapan Tuhan, dan kudapati jarak kuamat jauh dari Nya, aku akan ikhlas. Karena seperti itulah aku di dunia.

Tapi, kalau boleh aku berharap, aku ingin saat itu aku melihatmu dekat dengan Tuhan.

Aku akan bangga Nak, karena itulah bukti bahwa semua titipan bisa kita kembalikan kepada pemiliknya.

Dari ayah yang senantiasa merindukanmu.